Minggu, 24 Juli 2011

Filsafat Ketuhanan Immanuel Kant


Immanuel Kant (1724-1804) adalah salah seorang filosof besar Barat. Kant memberikan empat batasan metodelogi untuk membuktikan wujud Tuhan. Kendati ia mengajukan kritik terhadap argumen-argumen yang mengitsbat eksistensi Tuhan dalam ranah theoretical reason (akal teoritis), namun sepenuhnya percaya pada argumen-argumen moral (practical reason) dalam membuktikan wujud Tuhan. Kant dalam domain akal teoritis membagi argumen-argumen dalam membuktikan wujud Tuhan menjadi tiga bagian:

Filsafat Ketuhanan Leibniz


Gottfried Wilhelm Leibniz, juga Leibnitz, Baron Gottfried Wilhelm von (1646-1716) yang merupakan filosof, matematikawan dan negarawan Jerman ini dipandang sebagai salah satu dari supreme intellects abad ke-17. Ia menyuguhkan beberapa argumen filosofis tentang Tuhan. Warna filsafat Leibniz boleh disebut sebagai filsafat theocentric. Kalimat ini tentu saja tidak hanya menyiratkan makna bahwa Tuhan dalam filsafat Leibniz sangat signifikan. Namun juga bermakna, bahwa seluruh alam semesta memiliki satu sentral. Sentral ini memiliki spirit yang paling paripurna. Spirit atau ruh tersebut itu adalah Tuhan. 

Filsafat Ketuhanan Baruch Spinoza


Spinoza, Baruch atau Spinoza, Benedict (1632-1677), merupakan filosof rasionalis dan pemikir religius Belanda yang dipandang sebagai penyokong utama ajaran pantheisme. Spinoza dalam karya besarnya Ethica Ordine Geometrico Demonstrata (1677 Akhlak yang dibuktikan dengan Aturan Geometris) memandang bahwa alam ini identik dengan Tuhan, yang merupakan substansi yang tidak tersebabkan dari segala sesuatu. Konsep substansi yang diadopsi oleh Spinoza dari filosof-filosof Scholastic, bukanlah sebuah realitas material, tetapi sebuah entitas metafisikal. Sebuah realitas yang komprehensif dan swadaya (self-sufficient) yang menjadi dasar seluruh realitas. Tuhan di mata Spinoza adalah substansi yang nir-batas secara mutlak dan sebab bagi dirinya sendiri (causa sui). 

Filsafat Ketuhanan René Descartes


René Descartes (1596-1650) adalah filosof berkebangsaan Prancis. Di samping ia dikenal sebagai filosof, ia juga adalah ilmuan dan matematikawan dan terkadang ia disebut sebagai bapak filsafat modern. Langkah awal yang digunakan oleh Descartes untuk mencapai keyakinan adalah kita harus melihat apakah kita dapat ragu pada segala hal atau tidak. Ragu terhadap memori ingatan, pada penentuan indera dan persepsi, terhadap eksistensi dunia dan terhadap wujud ragawi orang tersebut. Seperti yang disebutkan dalam “Discourse on Methods”, Descartes mengatakan bahwa postulat “Aku berfikir, karena itu Aku ada” adalah sedemikian kukuh dan niscaya, sehingga kaum Skeptis tidak lagi dapat menggoyahkannya. Postulat “Aku berpikir atau Aku ragu”, yakni apabila seorang meragukan segala sesuatu, ia tetap tidak akan pernah meragukan keberadaan dirinya sendiri. Mengingat keraguan tidak bermakna tanpa peragu, maka keberadaan manusia peragu dan pemikir adalah sesuatu yang tidak bisa diragukan. Kebenaran tentang aku yang meragukan ini bagi Descartes merupakan kepastian. Karena aku mengerti hal itu dengan ‘jelas dan khas’ (clear and distinc). Aku ada, aku eksis; pernyataan ini merupakan sebuah keyakinan. Oleh karena itu, aku ada sejatinya menunjuk kepada satu maujud yang berpikir. 

Filsafat Ketuhanan Thomas Aquinas


Santo Thomas Aquinas (1225-1274), yang terkadang dipanggil sebagai Doktor Angelic dan Pangeran Skolastik, adalah seorang filosof dan teolog berkebangsaan Italia. Dengan karya-karyanya, ia menjadi figure yang paling penting dalam filsafat Skolastik dan seorang teolog Roman Katolik yang unggul.      Aquinas beranggapan bahwa seluruh burhan (argumen) untuk membuktikan eksistensi Tuhan adalah burhan apriori (inni). Lantaran ia percaya bahwa tiada satupun yang dapat menduduki posisi sebab bagi Tuhan. Dan Tuhan adalah wujud yang seutuhnya tanpa sebab. Apabila Tuhan eksis, maka selain-Nya merupakan akibat dari keberadaan-Nya. Tuhan secara mutlak ada (yakni secara esensial bukan non-esensial).

Filsafat Ketuhanan St. Anselm


Santo Anselm (1033-1109), teolog, filosof, dan pemimpin gereja, mengajukan sebuah argumen untuk menetapkan keberadaan Tuhan yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Santo Anselm menyusun Monologium (Soliloquy, 1077) yang di dalamnya merefleksikan pengaruh Santo Augustine yang menyatakan bahwa Tuhan merupakan wujud tertinggi dan mengurai sifat-sifat Tuhan. Pada tahun 1078, ia melanjutkan proyeknya mencari pemahaman tentang iman. Dia menyelesaikan Proslogium (Discourse), yang pasal keduanya menghadirkan the original statement yang menjadi popular sebagai ontological argument pada abad ke-18. Santo Anselm berargumen bahwa bahkan mereka yang meragukan eksistensi Tuhan akan memiliki pengertian atas apa yang mereka ragukan: yaitu mereka akan memahami bahwa Tuhan adalah satu wujud yang tidak ada wujud yang lebih besar dari-Nya. Anselm berkata bahwa seluruh eksistensi, kurang-lebihnya senantiasa akan berhadapan dengan kesempurnaan.

Filsafat Ketuhanan Aristoteles

Aristoteles (384-322 SM), filosof dan ilmuwan ternama Yunani. Dalam Metafisika-nya, Aristoteles berargumentasi dalam menetapkan keberadaan satu wujud Ilahiah, yang dijelaskan sebagai Prime Mover (penggerak agung), yang bertanggung jawab bagi kesatuan dan kebertujuan alam semesta. Tuhan merupakan sosok paripurna. Oleh karena itu, Dia merupakan aspirasi segala sesuatu di kosmos ini, lantaran segala sesuatu berhasrat untuk berbagi kesempurnaan. Di alam kosmos ini terdapat penggerak-penggerak yang lain - penggerak-penggerak cerdas dari planet-planet dan bintang-bintang (Aristoteles menyangka bahwa jumlah dari penggerak cerdas ini adalah “55 atau 47”). Kendati Penggerak Agung (The Prime Mover), atau Tuhan, yang dijelaskan oleh Aristoteles tidak cukup sesuai dengan tujuan-tujuan religius. Betapapun, Aristoteles membatasi “teologinya” pada apa yang ia percayai sesuai dengan tuntutan ilmiah dan dapat dibuktikan secara ilmiah.

Filsafat Ketuhanan Plato


Plato (428/427-348/347 SM)  yang merupakan murid jenius Socrates -sedemikian jeniusnya sehingga terkadang apabila Plato datang ke Academia Socrates, sang guru berkata “Sang akal telah datang”-  merupakan filosof kawakan yang ajarannya banyak dijadikan sebagai landasan filosofis filosof-filosof Barat. Para pengikutnya ini biasanya disebut sebagai Platonis.

Ajaran Plato tentang Tuhan kebanyakan disampaikan dalam terma-terma mistis, yang menegaskan kebaikan Tuhan (sebagaimana dalam Republic dan Timaeus) dan kebaikannya kepada manusia (sebagaimana dalam Phaedo); Tetapi dalam Phaedrus, dan lebih jelasnya dalam Laws, ia menghadirkan sebuah argumen yang lebih rigoris yang berdasarkan kenyataan bahwa segala sesuatu itu berubah (change) dan bergerak (in motion). Segala yang berubah itu tidak selamanya bersumber dari luar (eksternal), sebagian dari perubahan tersebut bersifat spontan dan bersumber dari “jiwa”. Dan akhirnya berujung pada sebuah jiwa yang suprim dan paripurna. (Britannica Encylopaedia, 2006)Dalam Timaeus, sebagaimana dinukil dalam kitab Faidh wa Fâ’iiliyyat Wujudi Az Aflatun tâ Mulla Shadra, penciptaan alam semesta dan pengerangka kosmos dinisbahkan kepada demiurege (shâne’, pencipta) yang mewujudkan kosmos ini dari keadaan yang tak tertata dan non-sistemik, menjadi sebuah kosmos yang tertata dan sistemik. Dalam perkara ini, mundus imaginalis (alam ide) dapat dijadikan sebagai satu contoh dan setelah mencipta alam ide, Tuhan mengadakan jiwa universal.

Filsafat Ketuhanan Socrates

Socrates (380-450 SM), filosof Yunani, yang secara mendalam mempengaruhi filsafat Barat lewat pengaruhnya terhadap Plato. Tuhan dalam pandangan Socrates -sebagaimana manusia- memiliki kekuatan berpikir. Artinya bahwa dalam tatanan semesta juga terdapat kekuatan sedemikian. Khususnya kita lihat bahwa alam semesta ini memiliki tatanan dan sistemik, dan bukan tanpa tatanan dan non-sistemik.

Socrates menegaskan bahwa setiap perkara itu memiliki tujuan, dan dzat Tuhan adalah tujuan keberadaan alam semesta ini. Oleh karena itu, alam semesta ini pastilah tidak bersumber dari perkara aksidental dan sebuah benturan (big bang). Lantaran alam semesta ini memiliki aturan, maka urusan mondial dan duniawi juga memiliki aturan-aturan natural, dimana manusia harus menjalankan aturan-aturan tersebut. Atas alasan ini, Socrates -dalam ranah politik- tidak berkeyakinan bahwa politik itu harus keras dan koersif. Dengan kata lain, bahwa politik itu juga bersandar pada hikmat dan kebijaksanaan. (Seir Hikmat dar Urupa, hal)

Para Filosof Bertutur tentang Tuhan



Dalam perjalanan sejarah umat manusia, tema yang sering dan acapkali menjadi obrolan dan perbincangan adalah perbincangan tentang Tuhan dengan pelbagai pendekatan dan metodologi. Di setiap masa dan tempat, semenjak kaum awam hingga kaum cerdik pandai (baca: filosof), masyarakat dari berbagai strata -dengan ragam ekspresi- bertutur ihwal Sang Pencipta.

Perbincangan ini tidak pernah sepi dan hening dari kehidupan manusia. Fitrah yang bersemayam dalam lubuk hati manusia senantiasa terketuk dan berdenyut untuk membahas dan membincangkan argumen (burhan) dalam membuktikan wujud dan eksistensi Tuhan. Pemikiran-pemikiran beradu dan berpadu. Para filosof silih berganti muncul untuk mengubah pandangan manusia. Semua itu melukiskan kembara tiada ujung ide manusia ihwal Tuhan. Terbentang dari filosof belahan dunia Barat hingga Timur, berupaya menyuguhkan argumen paling rasional dalam membuktikan wujud Tuhan. Dalam tulisan ini, yang akan dibagi menjadi dua bagian, akan kita bahas gagasan dan tuturan yang disajikan oleh filosof-filosof semisal Socrates, Plato, Aristoteles, Santo Thomas Aquinas, Santo Anselm, Leibniz, Rene Descartes, Spinoza, Immanuel Kant yang merupakan filosof-filosof unggul dunia Barat.