Minggu, 24 Juli 2011

Filsafat Ketuhanan St. Anselm


Santo Anselm (1033-1109), teolog, filosof, dan pemimpin gereja, mengajukan sebuah argumen untuk menetapkan keberadaan Tuhan yang hingga saat ini masih diperdebatkan. Santo Anselm menyusun Monologium (Soliloquy, 1077) yang di dalamnya merefleksikan pengaruh Santo Augustine yang menyatakan bahwa Tuhan merupakan wujud tertinggi dan mengurai sifat-sifat Tuhan. Pada tahun 1078, ia melanjutkan proyeknya mencari pemahaman tentang iman. Dia menyelesaikan Proslogium (Discourse), yang pasal keduanya menghadirkan the original statement yang menjadi popular sebagai ontological argument pada abad ke-18. Santo Anselm berargumen bahwa bahkan mereka yang meragukan eksistensi Tuhan akan memiliki pengertian atas apa yang mereka ragukan: yaitu mereka akan memahami bahwa Tuhan adalah satu wujud yang tidak ada wujud yang lebih besar dari-Nya. Anselm berkata bahwa seluruh eksistensi, kurang-lebihnya senantiasa akan berhadapan dengan kesempurnaan.


Oleh karena itu, konsepsi yang menggambarkan adanya sebuah realitas dimana tidak ada lagi realitas lebih sempurna darinya yang mampu digambarkan, adalah sebuah konsepsi yang logis. Jika realitas yang didefinisikan ini adalah wujud Tuhan, berarti Tuhan harus riil. Karena apabila Tuhan hanya merupakan gambaran dan realitasnya hanya berada dalam pikiran, berarti masih bisa digambarkan adanya realitas lain yang lebih sempurna darinya, yaitu eksistensi yang betul-betul wujud. Dan ini berarti terjadi kontradiksi. Oleh karena itu dan berdasarkan perhitungan logika, maka mau tidak mau harus diterima bahwa realitas dan eksistensi yang  kesempurnaannya mutlak betul-betul ada, dengan demikian maka Tuhan ada”. (Mabani wa Tarikh-e Falsafeh-ye Gharbi, hal. 125) Anselm sepakat bahwa setiap orang yang memahami apa maksud lafadz-lafadz Tuhan atau maujud transendental, maka dia akan menemukan bahwa eksistensi semacam ini harus riil dan ada.

Tuhan adalah sebuah realitas dimana tidak ada lagi realitas lain yang lebih besar darinya yang bisa digambarkan. Dan karena aku bisa memahami definisi ini maka aku bisa menggambarkannya. Lebih dari itu aku bisa menggambarkan Tuhan sehingga tidak saja dia merupakan sebuah persepsi dalam pikiranku, melainkan juga sebagai sebuah eksistensi dalam realitas, yaitu ada secara mandiri dari persepsi dan pikiranku.Setelah diketahui bahwa keberwujudan sebagai sebuah persepsi dan juga sebagai sebuah realitas lebih besar dari keberwujudan yang hanya sebagai sebuah konsepsi (tashawwur, gambaran dalam benak), maka berarti Tuhan harus riil dalam hakikat dan juga riil dalam konsepsi. Berdasarkan definisi ini, maka Tuhan adalah sebuah realitas wujud dimana realitas lain yang lebih besar darinya tidak bisa lagi digambarkan. Oleh karena itu, Tuhan harus ada dalam realitas. Jika tidak, maka sesuatu yang lebih besar dari Tuhan masih bisa digambarkan (yaitu sebuah eksistensi yang selain mempunyai semua sifat-sifat Tuhan juga mempunyai keberadaaan yang riil. Dan ini mungkin melalui definisi Tuhan tersebut atau melalui wujud yang superior dan sempurna”. (Kulliyat-e Falsafeh, hal. 238)       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar