Minggu, 24 Juli 2011

Filsafat Ketuhanan René Descartes


René Descartes (1596-1650) adalah filosof berkebangsaan Prancis. Di samping ia dikenal sebagai filosof, ia juga adalah ilmuan dan matematikawan dan terkadang ia disebut sebagai bapak filsafat modern. Langkah awal yang digunakan oleh Descartes untuk mencapai keyakinan adalah kita harus melihat apakah kita dapat ragu pada segala hal atau tidak. Ragu terhadap memori ingatan, pada penentuan indera dan persepsi, terhadap eksistensi dunia dan terhadap wujud ragawi orang tersebut. Seperti yang disebutkan dalam “Discourse on Methods”, Descartes mengatakan bahwa postulat “Aku berfikir, karena itu Aku ada” adalah sedemikian kukuh dan niscaya, sehingga kaum Skeptis tidak lagi dapat menggoyahkannya. Postulat “Aku berpikir atau Aku ragu”, yakni apabila seorang meragukan segala sesuatu, ia tetap tidak akan pernah meragukan keberadaan dirinya sendiri. Mengingat keraguan tidak bermakna tanpa peragu, maka keberadaan manusia peragu dan pemikir adalah sesuatu yang tidak bisa diragukan. Kebenaran tentang aku yang meragukan ini bagi Descartes merupakan kepastian. Karena aku mengerti hal itu dengan ‘jelas dan khas’ (clear and distinc). Aku ada, aku eksis; pernyataan ini merupakan sebuah keyakinan. Oleh karena itu, aku ada sejatinya menunjuk kepada satu maujud yang berpikir. 
 
 Argumen Descartes dalam membuktikan wujud Tuhan ada dua. Pertama, dengan menerima pandangan di atas yang bersandar pada metode skeptiknya. Dia menganggap dirinya sebagai maujud yang tidak sempurna. Dengan demikian ia menerima bahwa wujud Tuhan merupakan wujud yang sempurna. Descartes berpandangan bahwa memikirkan satu wujud yang sempurna, hanya dapat bersumber dari satu wujud yang sempurna; thus Tuhan sebagai sumber wujud tersebut haruslah wujud. Argumen yang merupakan argumen kosmologikal ini secara asasi bersandar pada prinsip filsafat Skolastik yang berdiri di atas ukuran realitas tersebut yang terdapat pada sebab juga terdapat pada akibatnya. Artinya apabila satu pikiran sempurna, dalam keadaan ini sebabnya juga akan sempurna. (Fifty Major Philosophers: A reference guide, hal. 136) Argumen kedua, popular sebagai argumen ontologis yang juga berkaitan dengan prinsip filsafat Skolastik.

Dalam pandangan dunia Descartes, Tuhan adalah dzat nir-batas dan abadi serta tidak berubah dan mandiri, mahatahu dan omnipotency, dimana aku dan segala sesuatu yang lain yang maujud adalah akibat dan makhluk-Nya. Argumen ontologi Descartes dituangkan dengan uraian yang lebih jelas, sebagai berikut:“Dengan melalui analisa yang sederhana kita ketahui bahwa segitiga secara niscaya mempunyai tiga sudut dan tiga siku. Maka gambarkanlah Tuhan dalam diri kalian dengan cara yang demikian pula. Dzat Tuhan kita definisikan sebagai kesempurnaan mutlak.Pada hakikatnya kesempurnaan mutlak adalah sebuah majemuk dari seluruh kesempurnaan yang bisa digambarkan. Tetapi wujud merupakan sebuah kesempurnaan. Oleh karena itu kesempurnaan mutlak apabila tidak mempunyai wujud, berarti bukan mutlak. Dan konklusinya: wujud mempunyai keterkaitan dengan kesempurnaan sebagaimana  mestinya segitiga yang mempunyai keterkaitan dengan tiga sudut dan tiga sikunya”. (Andrew Crisson, Falâsife-ye Buzurgh, jil. 2, hal. 28).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar