Minggu, 24 Juli 2011

Filsafat Ketuhanan Leibniz


Gottfried Wilhelm Leibniz, juga Leibnitz, Baron Gottfried Wilhelm von (1646-1716) yang merupakan filosof, matematikawan dan negarawan Jerman ini dipandang sebagai salah satu dari supreme intellects abad ke-17. Ia menyuguhkan beberapa argumen filosofis tentang Tuhan. Warna filsafat Leibniz boleh disebut sebagai filsafat theocentric. Kalimat ini tentu saja tidak hanya menyiratkan makna bahwa Tuhan dalam filsafat Leibniz sangat signifikan. Namun juga bermakna, bahwa seluruh alam semesta memiliki satu sentral. Sentral ini memiliki spirit yang paling paripurna. Spirit atau ruh tersebut itu adalah Tuhan. 

Tuhan di mata Leibniz merupakan ruh keseluruhan untuk keseluruhan alam semesta. Keberadaan semesta bersumber dari titik sentral ini. Tetapi poin ini dengan sendirinya merupakan sebab bagi dirinya. Leibniz mengkonsepsikan Tuhan sebagai sentral alam. Dan konsepsi ini kurang-lebihnya ia adopsi dari Ramon Laul dan Spinoza. Dalam definisi ini, makhluk-makhluk Tuhan merupakan hasil dari sifat penciptaan, yang bersumber dari kekayaan Tuhan Sang Pencipta. Bahkan Leibniz tidak mengelak untuk berkata bahwa Tuhan itu adalah substansi dan makhluk itu adalah aksiden. Dia juga berkata:“Makrifat kepada Tuhan merupakan awal dari filsafat, dan realitas-realitas azali itu adalah sifat Tuhan. Sifat inilah yang membentuk tatanan hikmah yang benar. Makrifat atau hikmat merupakan satu cahaya esensial kalimat Allah yang perennial dan eternal. Dan merupakan sumber dari segala hikmat dan segala cahaya dan sejatinya sumber segala wujud dan keberadaan serta seluruh fenomena. Tanpa adanya iluminasi dari cahaya ini, tidak seorangpun yang dapat meraup iman yang hakiki. Dan tanpa iman hakiki kebahagiaan mustahil dapat dicapai. (Falsafeye Leibniz, hal. 430)Mengenal Tuhan merupakan perkara yang paling mudah dan sekaligus paling pelik. Dalam perjalanan cahaya ini, pengenalan pertama ini merupakan pengenalan yang mudah. Dan pada lintasan bayangan-bayangan akhir ia merupakan pengenalan yang paling akhir dan paling sukar. Kebanyakan pengenalan kita melalui bayang-bayang ini; dari sisi sejarah, bahasa, kebiasaan manusia dan kebiasaan semesta. 

Ada beberapa  argumen yang didemonstrasikan oleh Leibniz dalam mengitsbat (membuktikan) wujud Tuhan. Namun di sini kita hanya menunjukkan beberapa dari argumen tersebut:

Bukti gerak (Penggerak dan yang digerakkan)  Dalil ini merupakan dalil yang digunakan Aristoteles dalam mengitsbat wujud Tuhan yang dikenal oleh Leibiniz lewat Thomas Aquinas. Ia berkata: “Materi sebagaimana ia materi, tidak memiliki tuntutan untuk bergerak. Dan kekuatan yang tersimpan dalam materi (matter) tidak memiliki preferensi untuk bergerak. Dengan kehadiran gerakan yang menjadi akibat atas gerakan sebelumnya, dan gerakan yang akan datang menjadi akibat atas gerakan sekarang, silsilah ini, ujung-ujungnya harus berakhir pada satu tempat. Dan apabila tidak dalil untuk bergerak maka gerakan belumlah menjadi jelas. Oleh karena itu, dimensi yang lengkap seluruh maujud haruslah maujud yang wajib, bukan maujud-maujud natural. Dan maujud wajib ini merupakan dalil pamungkas atas seluruh maujud yang disebut sebagai Tuhan.

Bukti wujub (necessity) dan imkan (contingen) 

Realitas ini menegaskan bahwa sesuatu yang ada tersimpan sebuah keharusan. [lantaran kontingen relasi antara ada dan tiadanya adalah setara. Dan apabila ia tidak menjadi wajib, maka ia tidak akan pernah mengada]. Oleh karena itu, apakah seluruh maujud bersifat mesti (dharuri) atau sebab pamungkasnya yang bersifat mesti (dharuri). Oleh karena itu, pastilah satu dari sekian maujud yang ada ini yang bersifat mesti, dan wujud tersebut adalah Tuhan.

Bukti yang bersandar pada realitas-realitas primordial 

Leibniz menulis bahwa: “Apabila pada setiap esensi atau kontingen atau realitas primordial (azali) bersemayam sebuah hakikat, maka hakikat ini harus bersandar pada maujud yang aktual. Artinya ia bersandar pada sebuah maujud yang mesti, dimana di dalamnya esensi menjadi inherensi wujud atau kontingenannya maujud tersebut, yang menjadikannya mesti mengaktualkannya.  

Argumen wujud

Leibniz mendukung argumen wujud dan menerapkannya dalam membuktikan wujud Tuhan; lantaran proposisi bahwa “Tuhan itu ada” merupakan sebuah proposisi yang mesti (dharuri). Karena, sebagaimana Descartes dan Santo Anselm, Leibniz memandang bahwa wujud itu bersumber dari kesempurnaan. Kendati ia berbeda dengan Descartes dalam memaparkan argumen ini. Ia menulis bahwa, “Kita tidak dapat mengambil sebuah konklusi dari konsepsi kita ihwal sebuah maujud yang memiliki kesempurnaan dan pure sempurna bahwa maujud seperti ini haruslah ada. Lantaran pemahaman-pemahaman yang tersimpan dalam benak kita boleh jadi bersifat mubham (kabur). Oleh karena itu kita tidak dapat bersandar pada dalil ini yang menkonsepsikan sebuah maujud yang memiliki kesempurnaan.” Tetapi, Leibniz berkata bahwa wujud  atau ada itu tidak memiliki predikat esensial. Tetapi proposisi bahwa “Tuhan itu ada”  merupakan perkara eksepsional (pengecualian).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar