Minggu, 24 Juli 2011

Filsafat Ketuhanan Baruch Spinoza


Spinoza, Baruch atau Spinoza, Benedict (1632-1677), merupakan filosof rasionalis dan pemikir religius Belanda yang dipandang sebagai penyokong utama ajaran pantheisme. Spinoza dalam karya besarnya Ethica Ordine Geometrico Demonstrata (1677 Akhlak yang dibuktikan dengan Aturan Geometris) memandang bahwa alam ini identik dengan Tuhan, yang merupakan substansi yang tidak tersebabkan dari segala sesuatu. Konsep substansi yang diadopsi oleh Spinoza dari filosof-filosof Scholastic, bukanlah sebuah realitas material, tetapi sebuah entitas metafisikal. Sebuah realitas yang komprehensif dan swadaya (self-sufficient) yang menjadi dasar seluruh realitas. Tuhan di mata Spinoza adalah substansi yang nir-batas secara mutlak dan sebab bagi dirinya sendiri (causa sui). 
 
Sekarang kita akan membaca teks dari argumen Spinoza yang tertulis di dalam kitab “Akhlak” nya yang terkenal, sebagai berikut:
(Proposisi 11: Tuhan adalah jauhar [substansi] yang diperkuat oleh sifat-sifat tak terbatas dimana setiap sifatnya merupakan eksplanasi dari dzat tak terbatas dan dzat abadi yang secara dharuri [niscaya] harus eksis).
Argumen: Apabila Anda tidak menerima proposisi ini dan  keadaan memungkinkan, maka misalkanlah bahwa Tuhan tidak ada dalam keadaan ini. Jika demikian berarti dzatnya tidak meniscayakan adanya wujud. Tetapi hal ini tidak rasional. Dengan demikian,Tuhan secara dharuri ada, relevansinya terbukti.Selain argumen yang telah tersebut, dalam kitab “Akhlak” Spinoza ini terdapat pula dua teori lain untuk membuktikan proposisi di atas. Teori ketiga adalah teori yang terdapat dalam kitab “Seir Hikmah dar Europa”. Di sana pula -dalam catatan kaki- diisyaratkan bahwa argumen ini adalah apa yang disebut sebagai argumen ontologi Anselm dan Descrates. Teks argumen ketiga dalam kitab “Akhlak” Spinoza adalah sebagai berikut:“Ketiadaan kekuatan untuk eksis merupakan dalil kelemahannya dan sebaliknya kekuatan untuk eksis, merupakan dalil terhadap adanya kekuatan, sebagaimana yang terlihat jelas. Dengan demikian, apabila yang eksis secara niscaya (dharuri) sekarang ini hanya benda-benda terbatas, maka keniscayaannya adalah bahwa benda-benda terbatas lebih kuat dari eksistensi yang secara mutlak tak terbatas. Dan ini jelas tidak rasional. oleh karena itu, kita harus mengambil salah satu dari dua pilihan yaitu “sesuatu tidak eksis (tidak ada)” atau “eksistensi yang secara mutlak tak terbatas tersebut itu eksis secara niscaya (dharuri)”. Tetapi kita ada dan eksis, baik dalam diri kita sendiri ataupun dalam benda lain yang eksis secara niscaya (dharuri). Dengan demikian, “eksistensi yang secara mutlak tak terbatas”, yaitu Tuhan, secara dharuri adalah eksis, relevansinya terbukti. Argumen awal Spinoza lebih mendekati argumen ontologi Anselm. Khususnya apabila kita mengetahui bahwa argumen ontologi Anselm termasuk dalam burhan limmi (a priori argumen, pembuktikan rasional dari sebab ke akibat), maka kekhususan ini dalam argumen awal Spinoza akan terlihat dengan sebuah makna. Spinoza sendiri menegaskan bahwa teori ini merupakan burhan inni (a posteriori argument, pembuktian rasional dari akibat ke sebab). (Kuliyyat-e Falsafah, hal. 238).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar